News

16Oct

Kerja Sama Global Pengembalian Aset korupsi

laws, political, government, corporate

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengambil prakarsa untuk memerangi tindak pidana korupsi di seluruh dunia dengan alasan bahwa korupsi telah menyebabkan kemiskinan yang masif dan merendahkan martabat manusia. Sekjen PBB Koffi Anan pernah menyatakan bahwa kita hidup tidak akan nyaman kalau melihat kemiskinan masih ada di sekitar kita dan kemiskinan merupakan salah satu pertanyaan besar yang harus dijawab oleh seluruh negara di dunia. Apalagi menurut laporan United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2014, secara global 1,2 milyar penduduk dunia (kurang lebih 20% dari 7,2 milyar penduduk dunia) hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan perkapita kurang dari US$ 1,25 per hari. Untuk itu, dalam upaya memerangi korupsi, PBB membentuk United Nations Convention against Corruption (UNCAC) pada tahun 2003 yang telah mengadakan beberapa konferensi antara lain di Laut Mati, Yordania (2005) dan yang kedua di Bali, Indonesia (2008), serta yang ketiga di Doha, Qatar (2009).

Republik Indonesiasebagai penandatangan selalu ikut aktif dalam konferensi UNCAC. Dimana dilakukan kerja sama pemberantasan korupsi global berupa kerjasama bilateral dan multilateral di antara negara-negara penandatangan UNCAC. Upaya pemberantasan korupsi tersebut terutama dalam program pengembalian aset atau sering disebut “asset recovery” untuk menyita dan mengembalikan aset hasil korupsi yang dicuci (money laundering) di luar negeri. Definisi tindak pidana yang dirumuskan oleh UNCAC bukan hanya korupsi terhadap aset negara saja tetapi juga untuk aset swasta. Disinilah  terdapat perbedaan mengenai rumusan ruang lingkup tindak pidana korupsi antar undang-undang anti-korupsi di Indonesia dengan UNCAC. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya merumuskan ruang lingkup tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara saja. Hal ini merupakan bahan pemikiranDPRRI untuk menyesuaikan definisi korupsi menurut sistem hukumIndonesia.

Syarat untuk bergabung dengan UNCAC adalah bahwa semua negara anggota (state member) harus mempunyai perangkat undang-undang anti korupsi dan mempunyai lembaga khusus anti korupsi untuk memperkuat efektifitas pelaksanaan undang-undang anti-korupsi tersebut. Kemudian keseriusan negara anggota memberantas korupsi juga jadi persyaratan untuk bergabung dalam UNCAC. Tanpa itu sulit kiranya bergabung dalam program “asset recovery”. Kerja sama ini dapat dilakukan dalam bentuk bantuan teknis, pelatihan, dan kerja sama melacak aset yang dibawa lari ke luar negeri  dan menyita aset hasil tindak pidana korupsi tersebut. Bantuan dan kerja sama kejaksaan dan kepolisian serta pengadilan negara tempat aset disimpan juga penting mengingat penegakan hukum, investigasi, dan interogasi dilakukan penegak hukum negara setempat yang mempunyai yurisdiksi dan wewenang penegakan hukum termasuk asset recovery atau penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi tersebut.

 Jadi kalau ada wacana dalam revisi UU KPK untuk mereduksi kewenangan KPK dan/atau membubarkan KPK dalam 12 tahun ke depan akan berakibat Indonesiatidak dapat berkerja sama dengan negara-negara lain dalam program “asset recovery”. Lalu bagaimana dengan janji-janji dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dimana hampir semua calon Presiden RI waktu itu mewacanakan program dan kampanye anti-korupsi. Aset negara yang berjumlah ratusan milyar rupiah dan mungkin triliunan rupiah tidak akan dapat dibawa kembali dan disita jika Indonesia tidak memiliki lembaga anti-korupsi yang mumpuni seperti KPK. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki keseriusan untuk memberantas korupsi, karena tanpa KPK, Indonesia tidak dapat bergabung dalam program asset recovery. Walaupun pemerintah mengumumkan penundaan pembahasan revisi UU KPK tetapi wacana merevisi UU KPK yang konon disetujui semua fraksi DPR RI tetap saja mengancam eksistensi dan kewenangan KPK. Revisi UU KPK hanya dibenarkan kalau bermaksud memperkuat kewenangan KPK memberantas korupsi dan bukan melemahkan KPK. Sudah menjadi pengetahuan umum (notoire feiten) kalau tindak korupsi marak di Indonesia terjadi dari atas ke bawah (top-down) dan di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Jelas dari uraian di atas, dalam upaya penegakan hukum dan good governance, pemberantasan korupsi memerlukan kerja sama dengan negara-negara lain yang tergabung dalam UNCAC agar aset negara yang dibawa kabur dapat disita dan dikembalikan ke Indonesia. Pada tahun 2014, Indonesia memiliki sekitar 45 orang DPO tersangka koruptor yang kabur ke luar negeri. Oleh karena itu, diharapkan program asset recovery yang dilakukan melalui kerja sama dengan negara-negara lain dapat berhasil dengan baik melalui keberadaan KPK sebagai tonggak utama pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi melalui program asset recovery tersebut, nantinya aset yang disita dari koruptor dapat digunakan untuk menambah dana APBN dalam pembangunan berkelanjutan di bidang pendidikan, pertahanan, bantuan hukum, pembangunan sekolah, infrastruktur, transportasi publik, dan lain-lain. Memang secara teori, asset recovery rumit dan sukar, namun hal ini merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan KPK agar tersangka korupsi kapok, apalagi melihat vonis yang diberikan hakim kepada tersangka korupsi selama ini sungguh ringan, tidak memiskinkan koruptor karena belum ada upaya serius penyitaan aset hasil korupsi, dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor lainnya sehingga korupsi masih ada dan merajalela dimana-mana. 

Indonesiaharus dapat mengimplementasikan upaya pemberantasan korupsi secara gencar, serius, tepat, dan efektif, namun bukan hanya dalam tahap pertemuan, working group, dan konferensi saja. Apapun upaya yang dilakukan untuk melemahkan KPK tidak akan berhasil jika seluruh pihak bersatu padu demi mewujudkan impian negara yang bebas dari korupsi di masa depan.

 Written by Frans Winarta

Published on Suara Pembaruan

<< Back

Close

Search