News

12Aug

Mewujudkan Negara Kesejahteraan yang Bebas dari Korupsi

political, government, corruption

Memasuki bulan Agustus, hari perayaan kemerdekaan RI yang ke-70 semakin dekat, ada perkataan Bung Karno yang dilontarkan di masa itu dalam  salah satu pidatonya yang cukup terkenal, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Benar yang dikatakan Bung Karno sebagai sang proklamator, saat ini korupsi yang masif dan marak menyerang semua subsistem kehidupan di tanah air. Tidak ada lagi segi kehidupan yang tidak dihinggapi praktik korupsi. Hal ini tentunya seiring dengan sifat materialisme, hedonisme, konsumerisme, dan perilaku serakah yang berkembang di masyarakat dan sebenarnya juga melanda dunia. Perjuangan berat sungguh dirasakan terutama bagi para birokrat dan PNS karena korupsi begitu masif dan merusak sistem yang ada di dalam pemerintahan dan lembaga peradilan. Sehingga korupsi dianggap hal yang biasa dan pantas untuk dipraktikkan untuk memperkaya diri tanpa batas.

Nasionalisme saat ini tidak lagi melawan penjajahan atau kolonialisme, namun melawan praktik korupsi dan korupsi yudisial yang mewabah dan tidak terkontrol, kemiskinan, serta pengangguran. Untuk itu perlu dipupuk sifat jujur, moral dan integritas yang tinggi, serta sikap anti-korupsi. Sudah waktunya rakyat Indonesia memberikan kontribusi yang besar kepada negara, bukannya malah merugikan negara. Sikap nasionalisme modern di era reformasi tersebut harus diimplementasikan secara nyata terutama di dalam penegakan hukum. Tantangan saat ini adalah kekacauan hukum yang merasuk kita karena lemahnya penegakan hukum dan meluasnya praktik korupsi di semua lini kehidupan. Tentunya hal ini dapat menghambat kestabilan politik dan ekonomi bangsa Indonesia yang sedang membangun dalam segala bidang tanpa kawalan hukum yang berarti akan menjadi sulit dibayangkan pembangunan ke depan akan berhasil. Penegakan hukum akan berujung kepada pencapaian negara kesejahteraan (welfare state) dan tanpa penegakan hukum hal tersebut tidak akan dapat dicapai.

Ada satu hal yang harus diperhatikan dari proses peradilan di Indonesia, yaitu mengenai integritas aparat penegak hukum serta para hakim dan advokat Indonesia. Integritas tersebut dapat dicapai jika Kejaksaan RI dan Kepolisian RI independen, begitu pula lembaga peradilan harus independen dan imparsial. Sikap independen dan imparsial adalah mutlak diperlukan sebagai jaminan agar keadilan dan kebenaran dapat ditegakkan. Belum lagi profesi advokat (legal profession) berada dalam tingkat terendah sekarang ini karena terlibat dalam praktik jual-beli putusan pengadilan. Untuk itu, seluruh elemen penegak hukum serta para hakim dan advokat harus memiliki jiwa nasionalisme modern. Artinya, jiwa nasionalisme yang dimiliki seorang penegak hukum dan profesi hukum dalam menjalankan fungsinya sebaiknya didasarkan kepada pengabdian untuk bangsa dan negara dan bukan hanya fokus kepada mencari penghasilan saja. Nasionalisme modern adalah sikap anti-korupsi dan mengabdi kepada pembangunan bangsa dan negara di semua bidang kehidupan.

Kejadian yang mencoreng profesi advokat Indonesia tempo hari, hendaknya dijadikan untuk perubahan besar ke depan. Memenangkan perkara dengan suap sama saja dengan perbuatan mencontek ketika ujian, dan lulus karena perilaku tidak sah dan tidak etis. Memenangkan perkara tidak harus dengan suap jika advokat memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kemampuannya sendiri dalam membela kliennya. Hal ini janganlah terjadi lagi ke depan karena akan menimbulkan kekacauan hukum di Indonesia. Daya rusak suap sangat dahsyat yang mengakibatkan mandegnya penegakan hukum sejak reformasi dicanangkan tahun 1998.

Antisipasi Kemunduran Besar Proses Demokratisasi

Maksud pemerintah untuk mengembaliknan pasal represif dalam RUU KUHP yaitu pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden merupakan kemunduran dalam perjalanan demokrasi dan sistem hukum pidana kita. Padahal pasal tersebut telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan judicial review pada tahun 2006. Haatzaai artiekelen (hate-sowing articles) atau pasal-pasal kebencian tersebut dahulu ada dengan tujuan untuk membungkam gerakan kemerdekaan dan pada akhirnya dihilangkan karena kebebasan berpendapat dan mengemukakan pikiran sesungguhnya telah dijamin di dalam UUD 1945, khususnya di dalam Pasal 28E ayat (3). Selain bertentangan dengan konstitusi haatzaai artiekelen tidaklah sesuai dengan penghormatan atas hak asasi manusia.

Pemerintah seharusnya pro-rakyat dalam proses demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia saat ini, di mana kritik sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pemerintahan tidaklah boleh dibatasi apalagi dibungkam. Dalam persoalan penghinaan terhadap presiden pun banyak pertimbangan yang harus diperhatikan, sebelum niat menggolkan RUU KUHP yang baru dengan pasal-pasal represif tersebut.

Di lain sisi, Presiden Jokowi juga harus tegas. Semua yang berada di bawah presiden tentu harus melaksanakan perintah presiden. Beberapa kejadian menuntut adanya ketegasan presiden dalam menjalankan penegakan hukum, seperti persoalan dua orang Komisioner Komisi Yudisial yang dinyatakan sebagai tersangka karena dianggap mencemarkan nama baik seorang hakim, serta persoalan penetapan tersangka dua komisioner KPK. Dan juga yang terakhir peristiwa suap tiga orang hakim yang terjadi di Medan. Rentetan peristiwa ini tentunya kurang mencerminkan semangat revolusi mental yang dicanangkan  semenjak kampanye pemilu presiden yang lalu. Beliau harus dapat meyakinkan para penegak hukum dan pengadilan bahwa ada kepentingan bangsa yang lebih besar yaitu pemberantasan korupsi.

Revolusi Mental dalam kerangka negara hukum diharapkan berperan besar dalam mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan. Penegakan hukum itu sendiri harus didukung oleh jalannya revolusi mental untuk menuju Indonesia baru yang menjunjung tinggi penegakan hukum yang adil yaitu kembali kepada moral dan integritas. Tujuan akhir penegakan hukum itu sendiri adalah menyejahterakan rakyat. Tanpa perubahan sikap mental para penegak hukum dan hakim mustahil kekacauan hukum yang dialami negara ini dapat diperbaiki.

Akhir kata, dalam memperingati hari kemerdekaan RI yang ke-70 nanti, perlu direnungkan kembali apa tujuan besar (grand design) negara Indonesia ke depan dalam kurun waktu 50 tahun yang akan datang. Dan juga apakah perjalanan panjang negara kita semenjak kemerdekaan sudah mencapai hasil yang terbaik bagi kepentingan rakyat dan pembangunan nasional Indonesia. Masih banyak yang harus dibenahi dari segala sektor kehidupan bangsa ini untuk mengejar ketinggalan dari negara lain. Untuk itu, semangat pejuang kemerdekaan yang kita warisi tidak boleh memudar dalam membangun bangsa dan negara.

Rakyat bosan mendengar janji-janji para pemimpin dan partai politik yang terlihat begitu nyata, namun minim realisasi sehingga akhirnya rakyat yang dirugikan. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki politik hukum yang jelas ke depannya, agar tujuan negara Indonesia yang sejahtera melalui penegakan hukum yang adil dapat segera tercapai. Kebohongan itu tidak langgeng sebagaimana dikatakan oleh Abraham Lincoln: ”You can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time.”

Written by Frans Winarta

Published on Suara Pembaruan

<< Back

Close

Search