News

16Apr

Pelayanan Berjenjang bukan Solusi

social, government, public, health

Alkisah, di daerah Megaluh, Jombang, tersebutlah sebuah batu yang konon ditunggui oleh dua makhluk gaib. Kedua makhluk gaib ini kemudian memberi amanah kepada seorang anak bernama Ponari untuk mengobati banyak orang. Maka, batu bertuah itu dipakai Ponari untuk menyembuhkan banyak orang. Rakyat berbondong-bondang datang, bahkan mengantre panjang untuk sembuh, yang datang pun tak pernah dipatok tarif. Fenomena batu Ponari ini sempat menghebohkan banyak orang. Kesembuhan dan kesehatan memang menjadi sebuah kebutuhan primer seorang manusia.

Lain Ponari dengan batu bertuahnya, lain pula Pemerintah dengan program jaminan sosialnya. Pemerintah pun ingin mewujudkan cita-cita welfare state – negara kesejahteraan – untuk memberikan akses pada jaminan kesehatan pada masyarakat. Bahwa kesehatan merupakan modal dasar untuk seseorang dapat berkarya. Paling tidak kita bisa berdoa layaknya Juvenal, penyair Romawi, orandum est ut sit mensana incorpore sano, semoga saja dalam tubuh yang sehat ini terdapat jiwa yang sehat pula. Memang, tidak semua orang yang bertubuh sehat memiliki pikiran yang sehat, tapi paling tidak tubuh yang sehat adalah modal untuk mengawali semua itu.

Pemerintah melalui UU No. 24/2011 telah membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Namun, terdapat persoalan yang menjadi masalah dalam mewujudkan cita-cita akses kesehatan kepada seluruh rakyat Indonesia. Salah satunya adalah sistem pelayanan berjenjang yang harus ditempuh peserta BPJS. Pasal 29 ayat (3) Peraturan Presiden No. 12/2003 mengatur bahwa Peserta BPJS harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama tempat Peserta terdaftar. Pelayanan fasilitas tingkat pertama ini salah satunya diartikan sebagai pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang ada di tiap-tiap kecamatan. Hal ini mengakibatkan tingkat kunjungan ke puskesmas membludak pasca diberlakukannya PP No. 12/2003 ini.

Sayangnya, sistem inilah yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat, sudahlah dipungut iuran wajib namun ketika hendak mendapatkan haknya justru sangat sulit dan birokratis. Padahal, tidak semua fasilitas tersedia di Puskesmas. Alasan klasik seperti jika tidak ada sistem rujukan berjenjang, maka rumah sakit akan kewalahan menangani jumlah pasien yang, antrean rumah sakit akan sangat panjang, pelayanan menjadi lebih lama dan kurang maksimal, serta tenaga medis di rumah sakit tersebut juga berpotensi kelelahan karena harus bekerja ekstra (Info BPJS Kesehatan Edisi IV Tahun 2014) seolah mencoba meyakinkan masyarakat bahwa sistem pelayanan berjenjang adalah untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Namun benarkah begitu?

Kalau alasannya adalah tenaga medis di rumah sakit yang menjadi mitra yang masih kurang, solusinya bukan dengan membuat prosedur pelayanan berjenjang. Masalah kesehatan adalah masalah nyawa, dan dosa besar bermain-main dengan nyawa orang, terlambat sedikit penyakit yang harusnya mudah tertolong bisa jadi sangat parah. Kalau memang yang ditakutkan adalah ketidakseimbangan jumlah peserta dengan pelayan kesehatan, maka solusi yang dicari adalah bagaimana menambah jumlah tenaga medis yang diperlukan.

Kurang Tepat

Maka, pewajiban mengunjungi puskesmas terlebih dahulu merupakan sebuah kesalahan konsep yang perlu dibenahi. Pertama, hakekat Puskesmas menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 75/2014 tentang Puskesmas (Permenkes 75/2014) hanyalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Artinya, puskesmas tidak ditujukan untuk upaya kuratif.

Sementara, banyak peserta BPJS membutuhkan tindakan yang sifatnya kuratif. Hal inilah yang menyebabkan adanya disparitas antara das sollen dengan das sein. BPJS mengharapkan puskesmas untuk mengatasi peserta yang tidak lagi sekedar butuh konsultasi tapi diobati. Hal ini jelas sangat menyulitkan untuk kondisi di lapangan yang memang tidak disiapkan untuk hal itu.

Kedua, Pemerintah perlu menyadari bahwa tidak selamanya pola penanganan berjenjang yang diatur dalam Permenkes 75/2014 cocok untuk kondisi seluruh peserta BPJS dan kondisi Puskesmas yang beragam. Apalagi untuk masuk dalam program BPJS, peserta tidak perlu mengikuti uji kesehatan terlebih dahulu atau adanya riwayat kesehatan seperti pada model asuransi kesehatan swasta. Yang jelas, pola penanganan yang diresepkan pemerintah dalam peraturan yang ada seolah menafikan tujuan awal dari BPJS agar masyarakat memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Ketiga, pewajiban tersebut berbenturan dengan  dengan hak masyarakat yang dijamin dalam UU Kesehatan. Pasal 5 UU Kesehatan bahwa rakyat berhak untuk menentukan sendiri layanan kesehatan yang diperlukan untuk dirinya. Namun, hak ini agaknya diberangus dengan prosedur-prosedur yang ada. Kepesertaan BPJS diwajibkan, tanpa ada hak rakyat untuk pilah-pilih program yang sesuai dan pada akhirnya rakyat pula yang disulitkan.

Layanan kesehatan bukan sekedar tentang alasan praktis namun juga landasan idiil yang seharusnya diperhatikan para policy makers. Keikutseraan masyarakat di dalam BPJS karena diwajibkan pemerintah dan bukanlah tanpa biaya. Artinya, siapapun peserta BPJS wajib membayar iuran dengan besaran tertentu. Kalaupun ada yang tidak membayar bukan berarti karena sama sekali gratis namun dibayarkan oleh Negara. Oleh karena itu, tidak selayaknya kebijakan yang diterbitkan justru arogan dan mengesankan rakyat pantas mendapatkan pelayanan ala kadarnya. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan terbaik untuk kesehatannya, dan itu dimulai dari persoalan administratif.

Sudah selayaknya pola pelayanan berjenjang ini dihapuskan. Tidak ada orang yang bisa memilih sakit di hari apa, kapan, dan dimana. Kalau masyarakat dari awal sudah harus direpotkan dengan soal-soal administratif, surat rekomendasi, dan persoalan dokumentasi lainnya, persoalan utama mengenai akses pada pelayanan kesehatan menjadi terlupakan. Tidak salah apabila pemerintah ingin membuat prosedur agar layanan menjadi tertib, tapi prosedur jangan mengabaikan nyawa manusia. Jangan sampai, daripada ikut BPJS, lebih baik rakyat pergi ke Megaluh, mencari batu Ponari.

Written by  Michael Herdi Hadylaya

Published on harian KONTAN 

<< Back

Close

Search