News

22Jan

Tinjau Ulang Hukuman Mati

laws, political, government

Januari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengambil sikap tegas dengan tidak mengabulkan grasi bagi terpidana mati kasus narkoba. Indonesia memang berada pada tahap darurat narkoba sehingga kesalahan para terpidana kasus narkoba sulit untuk dimaafkan. Komitmen yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi tersebut menunjukkan adanya keberpihakan pemerintah bagi pemberantasan peredaran narkoba. Apabila tidak ditindak tegas, narkoba di Indonesia akan sangat membahayakan mengingat Indonesia berada di jalur emas perdagangan narkoba dan iklim Indonesia yang kondusif sangat potensial bagi tumbuh suburnya tanaman-tanaman psikotropika

Bahaya narkoba tidak hanya pada kesehatan, yang memang membawa dampak fatal, tapi juga dari sisi keamanan. Apabila bisnis narkoba dibiarkan, akan tumbul praktek kartel narkoba yang bila sudah tumbuh besar akan sulit dikendalikan. Kartel narkoba ini, dengan uang melimpah hasil perdagangan narkoba, dapat mempengaruhi stabilitas hukum dan politik di suatu negara. Oleh karena itu, penindakan yang serius terhadap narkoba adalah satu-satunya pilihan yang tersedia bagi pemerintah. Namun pertanyaannya, apakah harus dengan hukuman mati?

Hukuman mati memang menghadirkan perdebatan panjang. Akan selalu ada argument dari pihak yang pro dan kontra untuk menguatkan argument masing-masing. Namun, untuk konteks Indonesia, pertanyaan mengenai hukuman mati perlu selalu didiskusikan. Tidak hanya karena masih memberlakukan hukuman mati di satu sisi namun karena di sisi lain Indonesia mengakui hak hidup sebagai hak asasi yang dijamin di dalam konstitusi Indonesia. Ada paradoks yang terjadi di Negara kita menyangkut persoalan hukuman mati.

Sila kedua Pancasila mengagungkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai-nilai kemanusiaan ini pula yang dijamin dalam Pasal 28 A UUD 1945 yang menjamin hak hidup serta hak mempertahankan hidup setiap orang. Baik Pancasila yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945 yang adalah Staatsfundamentalnorm maupun UUD 1945 selaku Staatsgrundgezets, sama-sama secara implisit menafikan hukuman mati, apalagi Pasal 28 I mengatur bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam hal apapun (non-derogable right). Uniknya, aturan-aturan hukum di bawah UUD 1945 mengakui adanya hukuman mati, seperti pada UU No. 35/2009 tentang Narkotika. Padahal, UU ini dibuat setelah UUD 1945 diamandemen. Perdebatan mengenai konstitusionalisme hukuman mati belum usai sekalipun Putusan MK pada tahun 2007 menganggap hukuman mati konstitusional. Paling tidak, ada tiga hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukuman mati masih menyisakan perdebatan hangat.

Haruskah Kematian?

Namun, menarik untuk diperhatikan bahwa tidak ada jaminan hukuman mati akan membawa efek jera. American Civil Liberties Union (ACLU) dalam salah satu rilis pada April 2007 mengemukakan bahwa There is no credible evidence that the death penalty deters crime more effectively than long terms of imprisonment. States that have death penalty laws do not have lower crime rates or murder rates than states without such laws. And states that have abolished capital punishment show no significant changes in either crime or murder rates. The death penalty has no deterrent effect. Claims that each execution deters a certain number of murders have been thoroughly discredited by social science research.” Maka, menjadi sangat miris bahwa justifikasi hukuman mati yang dilakukan selama ini hanya berdasarkan asumsi.

Ada tiga hal yang patut diingat dalam persoalan hukuman mati. Pertama, tidak hanya kita mengabaikan bahwa tiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk hidup. Dengan adanya hukuman mati, kita mengamini bahwa ada golongan manusia yang layak untuk hidup dan dipertahankan hidupnya dan ada golongan yang tidak. Kedua, kita menafikan adanya kesempatan seorang kriminal untuk berubah dan menjadi manusia yang lebih baik. Kita mencoba menjadi Tuhan atas sesama dan atas masa depan. Ketiga, tidak ada jaminan bahwa pengadilan pasti benar dan apabila dikemudian hari terpidana yang dihukum mati terbukti tidak bersalah, manusia belum memiliki teknologi untuk mengembalikan hidup.

Lagipula, dalam soal narkoba, yang tertangkap selama ini, sekalipun diklaim sebagai Bandar narkoba, hanyalah pion dari jaringan narkoba yang lebih besar. Mereka ini justru hanyalah korban dari sistem yang sekalipun dihukum mati akan tetap menumbuhkan bandar-bandar narkoba baru. Mereka, bagaikan Hydra dalam mitologi yunani yang ketika satu kepala dipotong justru akan tumbuh lebih banyak kepala baru.  Persoalan ini yang harus diperhatikan oleh Mahkamah Agung yang menjatuhkan vonis mati. Hakim sebagai perwujudan keadilan seharusnya dapat melihat jauh lebih panjang dari sekedar diksi undang-undang yang memperbolehkan atau melarang hukuman mati. Mahkamah Agung harus mampu melihat pengabaian hak-hak asasi yang terjadi di dalam pelaksanaan hukuman mati.

Tidak sepenuhnya adil menyalahkan Presiden Joko Widodo dalam persoalan eksekusi hukuman mati. Presiden Joko Widodo memiliki peranan untuk mengubah sejarah hukum di Indonesia. Presiden, dengan kekuasaan yang dimilikinya sebenarnya masih tetap dapat menghadirkan keadilan tanpa harus mengabaikan hak asasi manusia. Pemberian grasi oleh Presiden tidak serta-merta melepaskan si terpidana, namun dapat mengubah hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup sudah lebih dari cukup. Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Kurang elok rasanya apabila Presiden justru mengawali masa pemerintahannya dengan menghilangkan nyawa orang. Dan, bertambah miris lagi apabila kita menyadari bahwa ini adalah tugas pertama Jaksa Agung yang baru dilantik oleh Presiden adalah mengawal eksekusi mati. Kita semua berharap adanya perubahan ketika Presiden Jokowi memerintah. Presiden Jokowi dengan revolusi mentalnya seharusnya mampu untuk membawa tindak pidana narkotika ke dalam sebuah hukuman yang memang benar-benar dapat merevolusi mental bangsa ini.

Written by  Michael Herdi Hadylaya

Published on harian KONTAN 

<< Back

Close

Search